Streptococcus
pyogenes
Streptococcus pyogenes ialah
bakteri Gram-positif bentuk bundar yang tumbuh dalam rantai panjang[1] dan
merupakan penyebab infeksi Streptococcus Grup A. Streptococcus pyogenes
menampakkan antigen grup A di dinding selnya dan beta-hemolisis saat dikultur
di plat agar darah. Streptococcus pyogenes khas memproduksi zona beta-hemolisis
yang besar, gangguan eritrosit sempurna dan pelepasan hemoglobin, sehingga
kemudian disebut Streptococcus Grup A (beta-hemolisis). Streptococcus bersifat
katalase-negatif.
Streptococcus E haemolyticus grup
A diselubungi oleh kapsul yang terdiri dari asam hialuronat yang berfungsi
untuk resistensi terhadap pagositosis dan untuk perlekatan bakteri pada sel
epitel pejamu. Seperti kapsul kuman lainnya, kapsul streptokokus mempunyai efek
antipagositik. Peran kapsul sebagai antipagositik di antara galur streptokokus
berbeda-beda. Kapsul streptokokus identik dengan asam hialuronat jaringan ikat
pejamu dan tidak imunogenik.
Kerajaan:
|
|
Filum:
|
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
|
Famili:
|
|
Genus:
|
|
Spesies:
|
S. pyogenes
|
Streptococcus pyogenes
Rosenbach 1884 |
Serotipe
Serotipe Streptococcus pyogenes
Pada tahun 1928, Rebecca
Lancefield menerbitkan tulisan tentang cara serotipe Streptococcus pyogenes
berdasarkan pada protein M-nya, faktor virulensi yang ditampakkan di
permukaannya.[2] Kemudian, pada tahun 1946, Lancefield menjelaskan klasifikasi
serologi isolasi Streptococcus pyogenes berdasarkan pada antigen T
permukaannya.[3] 4 dari 20 antigen T telah diketahui bersifat pilus, yang
digunakan bakteri untuk berikatan dengan sel inangnya.[4] Sekarang, lebih dari
100 serotipe M dan sekitar 20 serotipe T diketahui.
Patogenesis
Streptococcus pyogenes adalah
penyebab banyak penyakit penting pada manusia yang berkisar dari infeksi kulit
permukaan yang ringan hingga penyakit sistemik yang mengancam hidup. Infeksi
khasnya bermula di tenggorokan atau kulit. Infeksi ringan Streptococcus
pyogenes termasuk faringitis ("radang kerongkongan") dan infeksi
kulit setempat ("impetigo"). Erisipelas dan selulitis dicirikan oleh
perbiakan dan penyebaran samping Streptococcus pyogenes di lapisan dalam kulit.
Serangan dan perbiakan Streptococcus pyogenes di fasia dapat menimbulkan
fasitis nekrosis, keadaan yang besar kemungkinan mengancam hidup yang
memerlukan penanganan bedah.
Infeksi akibat strain tertentu
Streptococcus pyogenes bisa dikaitkan dengan pelepasan toksin bakteri. Infeksi
kerongkongan yang dihubungkan dengan pelepasan toksin tertentu bisa menimbulkan
penyakit jengkering (scarlet fever). Infeksi toksigen Streptococcus pyogenes
lainnya bisa menimbulkan sindrom syok toksik streptococcus, yang bisa mengancam
hidup.
Responses of innate immune cells to group A Streptococcus
Streptococcus pyogenes juga bisa
menyebabkan penyakit dalam bentuk sindrom "non-pyogenik" (tak dihubungkan
dengan perbiakan bakteri dan pembentukan nanah setempat) pascainfeksi.
Komplikasi yang diperantarai autoimun itu mengikuti sejumlah kecil persentase
infensi dan termasuk penyakit rematik dan glomerulonefritis pasca-streptococcus
akut. Kedua keadaan itu muncul beberapa minggu menyusul infeksi awal
streptococcus. Penyakit rematik dicirikan dengan peradangan sendi dan/atau
jantung menyusul sejumlah faringitis streptococcus. Glomerulonefritis akut,
peradangan glomerulus ginjal, bisa mengikuti faringitis streptococcus atau
infeksi kulit.
Bakteri ini benar-benar sensitif
terhadap penisilin. Kegagalan penanganan dengan penisilin umumnya dikaitkan
dengan organisme komensal lain yang memproduksi β-laktamase atau kegagalan
mencapai tingkat jaringan yang cukup di tenggorokan. Strain tertentu sudah
kebal akan makrolid, tetrasiklin dan klindamisin.
Faktor virulensi
Streptococcus pyogenes mempunyai
beberapa faktor virulensi yang memungkinkannya berikatan dengan jaringan inang,
mengelakkan respon imun, dan menyebar dengan melakukan penetrasi ke lapisan
jaringan inang.[5] Kapsul karbohidrat yang tersusun atas asam hialuronat
mengelilingi bakteri, melindunginya dari fagositosis oleh neutrofil. Di samping
itu, kapsul dan beberapa faktor yang melekat di dinding sel, termasuk protein
M, asam lipoteikoat, dan protein F (SfbI) memfasilitasi perkatan ke sejumlah
sel inang.[6] Protein M juga menghambat opsonisasi oleh jalur kompemen
alternatif dengan berikatan pada regulator komplemen inang. Protein M yang
ditemukan di beberapa serotipe juga bisa mencegah opsonisasi dengan berikatan
pada fibrinogen. Namun, protein M juga titik terlemah dalam pertahanan patogen
ini karena antibodi yang diproduksi oleh sistem imun terhadap protein M
sasarannya adalah bakteri untuk ditelan fagosit. Protein M juga unik bagi tiap
strain, dan identifikasi bisa digunakan secara klinik untuk menegaskan strain
yang menyebabkan infeksi.
Streptococcus pyogenes melepaskan
sejumlah protein, termasuk beberapa faktor virulensi, kepada inangnya:
Streptolisin
O dan S
adalah toksin yang merupakan
dasar sifat beta-hemolisis organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang
berpotensi memengaruhi banyak tipe sel termasuk neutrofil, platelet, dan
organella subsel. Menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya;
antistreptolisin O (ASO) bisa digunakan secara klinis untuk menegaskan infeksi
yang baru saja. Streptolisin O bersifat meracuni jantung (kardiotoksik).
Eksotoksin
Streptococcus pyogenes A dan C
Keduanya adalah superantigen yang
disekresi oleh sejumlah strain Streptococcus pyogenes. Eksotoksin pyogenes itu
bertanggung jawab untuk ruam penyakit jengkering dan sejumlah gejala sindrom
syok toksik streptococcus.
Streptokinase
Secara enzimatis mengaktifkan plasminogen,
enzim proteolitik, menjadi plasmin yang akhirnya mencerna fibrin dan protein
lain.
Streptokinase adalah protein
ekstraseluler bakteri yang diproduksi oleh beberapa galur Streptococcus
haemolyticus grup C. Kemampuan protein ini untuk memecah gumpalan darah
dilaporkan pertama kali pada tahun 1993. Protein ini hanya terdiri dari satu
rantai molekul dengan massa 48 kDa. Hingga sekarang telah dikenal 9 genotipe
streptokinase yang berkaitan dengan GNAPS seperti sak-1, -2, -6, dan -9.
Pada binatang percobaan,
hilangnya gen streptokinase dapat mengeliminasi bagian nefritogenik strain
tertentu. Streptokokus grup A dapat memproduksi 2 jenis streptokinase imunogenik
yaitu streptokinase yang dapat mengubah plasminogen menjadi plasmin dan
streptokinase yang mengubah C3 menjadi C3a, suatu faktor kemotaktis.
Streptokinase dikenal juga sebagai fibrinolisin yang merupakan spreading
factor, dan berperan dalam penyebaran kuman melalui jaringan karena
kemampuannya mengubah plasminogen menjadi plasmin.
Plasmin akan mengaktivasi kaskade komplemen,
menyebabkan pemecahan protein matriks ekstraselular, mencerna fibrin, dan
menginduksi pelepasan vasoaktif bradikinin. Sebagai hasilnya, infeksi jaringan
lunak oleh Streptokokus grup A akan cepat menyebar dan meluas. Streptokinase
dapat juga berikatan dengan struktur glomerulus yang normal dengan afinitas
yang berbedabeda untuk setiap strain. Streptokinase terikat erat dengan
glomerulus, dan deposit streptokinase glomerular dapat dideteksi dengan teknik
pewarnaan tertentu.
Hialuronidase
Banyak dianggap memfasilitasi
penyebaran bakteri melalui jaringan dengan memecah asam hialuronat, komponen
penting jaringan konektif. Namun, sedikit isolasi Streptococcus pyogenes yang
bisa mensekresi hialuronidase aktif akibat mutasi pada gen yang mengkodekan
enzim. Apalagi, isolasi yang sedikit yang bisa mensekresi hialuronidase tak
nampak memerlukannya untuk menyebar melalui jaringan atau menyebabkan lesi
kulit.[7] Sehingga, jika ada, peran hialuronidase yang sesungguhnya dalam
patogenesis tetap tak diketahui.
Streptodornase
Kebanyakan strain Streptococcus
pyogenes mensekresikan lebih dari 4 DNase yang berbeda, yang kadang-kadang
disebut streptodornase. DNase melindungi bakteri dari terjaring di perangkap
ekstraseluler neutrofil (NET) dengan mencerna jala NET di DNA, yang diikat pula
serin protease neutrofil yang bisa membunuh bakteri.[8]
C5a
peptidase
C5a peptidase membelah kemotaksin
neutrofil kuat yang disebut C5a, yang diproduksi oleh sistem komplemen.[9] C5a
peptidase diperlukan untuk meminimalisasi aliran neutrofil di awal infeksi
karena bakteri berusaha mengkolonisasi jaringan inang.[10] Peptidase C5a
merupakan kemotraktan sel pagosit C5a dan terdapat pada semua sel strain
Streptokokus grup A. Peptidase dapat merusak sinyal kemotaktik dengan memecah
komponen komplemen C5a, sehingga menjadi inaktif.
Kemokin
protease streptococcus
Jaringan pasien yang terkena
dengan kasus fasitis nekrosis parah sama sekali tidak ada neutrofil.[11] Serin
protease ScpC, yang dilepas oleh Streptococcus pyogenes, bertanggung jawab
mencegah migrasi neutrofil ke infeksi yang meluas.[12] ScpC mendegradasi
kemokina IL-8, yang sebaliknya menarik neutrofil ke tempat infeksi. C5a
peptidase, meskipun diperlukan untuk mendegradasi kemotaksin neutrofil C5a di
tahap awal infeksi, tak diperlukan untuk Streptococcus pyogenes mencegah aliran
neutrofil karena bakteri menyebar melalui fasia.[10][12]
Diagnosis
Biasanya, usap tenggorokan dibawa
ke laboratorium untuk diuji. Pewarnaan Gram diperlukan untuk memperlihatkan
Gram-positif, coccus, dalam bentuk rantai. Kemudian, organisme di agar darah
dikultur dengan tambahan cakram antibiotik basitrasin untuk memperlihatkan
koloni beta-hemolisis dan sensitivitas (zona inhibisi sekitar cakram)
antibiotik. Lalu dilakukan uji katalase, yang harus menunjukkan reaksi negatif
untuk semua Streptococcus. Streptococcus pyogenes bersifat negatif untuk uji
cAMP dan hipurat. Identifikasi serologi atas organisme itu melibatkan uji untuk
adanya polisakarida spesifik grup A dalam dinding sel bakteri menggunakan tes
Phadebact. Karena uji tindak pencegahan juga dilakukan untuk memeriksa penyakit
penyakit seperti, namun tak terbatas pada, sifilis, dan nekrosis avaskular, dan
kaki pekuk.
Adanya infeksi streptokokus dapat
diketahui dengan melihat peningkatan titer antibodi terhadap antigen yang
berasal dari dinding sel dan produk ekstraselular kuman. Secara praktis,
infeksi streptokokus diketahui dengan pemeriksaan antistreptolisin,
antideoksiribonuklease B, antihialuronidase, antistreptokinase, dan
antinikotinamid adenin dinukleotidase. Titer antistreptolisin dan
anti-nikotinamid adenin dinukleotidase meningkat pada 80% pasien nefritis pasca
faringitis, sedangkan titer antihialuronidase dan antideoksiribonuklease B
meningkat pada 80- 64 90% pasien glomerulonefritis pasca infeksi kulit. Titer
antibodi akan meningkat dalam 1-5 minggu setelah infeksi dan akan normal dalam
beberapa bulan. Antibodi IgG terhadap fraksi C protein M streptokokus merupakan
petanda diagnostik yang lebih realistis terhadap GNAPS sebab kadarnya tetap
meningkat secara bermakna setelah kadar antibodi streptokokus yang lain sudah
normal.
Pada GNAPS, aktivasi sistem komplemen
diketahui dengan mengukur kadar komplemen hemolitik (CH50) total, C3, dan C4.
Lebih dari 90% pasien GNAPS akan mengalami penurunan C3 dan CH50 sedangkan C4
normal atau sedikit menurun yang mengindikasikan adanya aktivasi melalui jalur
alternatif. Kadar IgG dan IgM serum meningkat pada 90% pasien GNAPS. Kompleks
imun bersirkulasi dan krioglobulin dapat dideteksi pada masing-masing 58% dan
66% pasien GNAPS. Antibodi antineutrofil sitoplasma dapat dideteksi pada 9%
pasien GNAPS dan dihubungkan dengan beratnya penyakit seperti peningkatan kadar
kreatinin dan pembentukan kresentik. Terdapat tiga pemeriksaan antibodi
streptokokus yang lazim dilakukan yaitu pemeriksaan titer antistreptolisin O
(ASO), titer anti-DNAse-B (ADB), dan uji streptozim. Jika memungkinkan dapat
juga dilakukan pemeriksaan antihialuronidase. Antistreptolisin O dilakukan
untuk mendeteksi infeksi Streptokokus E hemolitikus grup A.
Streptokokus grup A menghasilkan
enzim streptolisin O yang dapat merusak sel darah merah. Oleh karena
streptolisin O bersifat antigenik, maka tubuh memproduksi antistreptolisin O
yang merupakan antibodi netralisasi. Antibodi ASO akan terdapat dalam darah satu
minggu hingga dua bulan setelah awitan infeksi. Titer ASO yang tinggi tidak
spesifik terhadap setiap penyakit infeksi streptokokus, tetapi mengindikasikan
ada atau pernah terinfeksi streptokokus. Pemeriksaan ASO serial digunakan untuk
mengetahui perbedaan antara fase akut dan konvalesen. Diagnosis adanya infeksi
streptokokus sebelumnya diketahui dengan peningkatan titer ASO secara serial
setiap minggu dan kemudian turun perlahan-lahan.
Puncak peningkatan titer ASO
terjadi pada minggu ketiga setelah awitan fase akut dan 6 bulan setelah awitan
hanya 30% yang menunjukkan nilai abnormal. Peningkatan lemak lipoprotein E
darah dapat menetraliser streptolisin O dan menyebabkan positif palsu pada
pemeriksaan ASO. Antibiotik dan steroid dapat menekan produksi ASO. Nilai
normal ASO pada anak 6 bulan – 2 tahun adalah 50 Todd unit/ml, 2-4 tahun 160
Todd unit/ml, 5-12 tahun 170-330 Todd unit/ml, dan dewasa 160 Todd unit/ml.12
Titer ASO akan meningkat pada 75- 80% GNAPS pasca faringitis dan pada 50% GNAPS
pasca impetigo. Pemeriksaan anti-DNAse-B (ADB) dilakukan untuk mendeteksi
antigen Streptococcus E haemolyticus grup A dan akan meningkat pada sebagian
besar pasien GNAPS. Pemeriksaan ADB sering dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan ASO dan dapat mendeteksi 95% infeksi streptokokus. Jika keduanya
diulang dengan hasil yang negatif, dapat disimpulkan bahwa penyakit tersebut
tidak disebabkan infeksi pascastreptokokus. Pemeriksaan ASO lebih
direkomendasikan daripada ADB tetapi kombinasi ASO dan ADB lebih baik daripada
ASO sendiri atau ADB. Antibiotik dapat menurunkan kadar anti-DNAse-B.
Nilai normal ADB pada anak
prasekolah 60 unit, usia sekolah 170 unit, dan dewasa 85 unit. Pemeriksaan
streptozim merupakan uji skrining untuk mendeteksi sekaligus beberapa antibodi
terhadap antigen streptokokus seperti DNAse, NADase, streptokinase,
streptolisin O, dan hialuronidase. Pemeriksaan ini mudah, cepat, dan tidak
dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan positif palsu seperti pada pemeriksaan
ASO. Kelemahannya adalah tidak dapat mendeteksi jenis antigen yang meningkat
dan kadar antibodi dalam nilai border line meskipun sudah bermakna. Pemeriksaan
streptozim lebih menguntungkan dibandingkan dengan ASO dan ADB. Nilai normal
streptozim
Penanganan
Terapi pilihan adalah penisilin,
namun, bila tidak siap tersedia penisilin, sayatan kecil pada daerah yang
terinfeksi akan menghilangkan dan bengkak dan rasa tak nyaman hingga bantuan
medis yang cocok dapat dicari. Tidak ada kejadian resistensi penisilin yang
dilaporkan hingga hari ini, meski sejak tahun 1985 sudah banyak laporan
toleransi penisilin.[13]
Makrolid, kloramfenikol, dan
tetrasiklin bisa digunakan jika strain yang diisolasi nampak sensitif, namun
lebih umum terjadi resistensi.
Daftar Pustaka
1. ^ Ryan KJ; Ray CG
(editors) (2004). Sherris Medical Microbiology(4th ed. ed.). McGraw
Hill. ISBN
0-8385-8529-9.
2. ^ Lancefield RC
(1928). "The
antigenic complex of Streptococcus hemolyticus". J
Exp Med 47: 9–10.
3. ^ Lancefield RC,
Dole VP (1946). "The
properties of T antigen extracted from group A hemolytic streptococci". J
Exp Med 84: 449–71.
4. ^ Mora M, Bensi G,
Capo S, Falugi F, Zingaretti C, Manetti A, Maggi T, Taddei A, Grandi G, Telford
J (2005). "Group A Streptococcus produce pilus-like structures containing
protective antigens and Lancefield T antigens". Proc Natl Acad Sci
U S A 102 (43): 15641–6.PMID 16223875.
5. ^ Patterson MJ
(1996). Streptococcus. In: Baron's Medical Microbiology (Baron
S et al, eds.) (4th ed. ed.). Univ of Texas Medical Branch. (via NCBI
Bookshelf) ISBN
0-9631172-1-1.
6. ^ Bisno AL, Brito
MO, Collins CM (2003). "Molecular basis of group A streptococcal
virulence". Lancet Infect Dis 3 (4): 191–200. PubMed.
7. ^ Starr C,
Engleberg N (2006). "Role of hyaluronidase in subcutaneous spread and
growth of group A streptococcus". Infect Immun 74 (1):
40–8. PMID 16368955.
8. ^ Buchanan J,
Simpson A, Aziz R, Liu G, Kristian S, Kotb M, Feramisco J, Nizet V (2006).
"DNase expression allows the pathogen group A Streptococcus to escape
killing in neutrophil extracellular traps". Curr Biol 16 (4):
396–400. PMID 16488874.
9. ^ Wexler D,
Chenoweth D, Cleary P (1985). "Mechanism of action of the group A
streptococcal C5a inactivator". Proc Natl Acad Sci U S A82 (23):
8144–8. PMID 3906656.
10. ^ a b Ji
Y, McLandsborough L, Kondagunta A, Cleary P (1996). "C5a peptidase alters
clearance and trafficking of group A streptococci by infected mice". Infect
Immun 64 (2): 503–10. PMID 8550199.
11. ^ Hidalgo-Grass C,
Dan-Goor M, Maly A, Eran Y, Kwinn L, Nizet V, Ravins M, Jaffe J, Peyser A,
Moses A, Hanski E (2004). "Effect of a bacterial pheromone peptide on host
chemokine degradation in group A streptococcal necrotising soft-tissue
infections". Lancet 363 (9410): 696–703. PMID 15001327.
12. ^ a b Hidalgo-Grass
C, Mishalian I, Dan-Goor M, Belotserkovsky I, Eran Y, Nizet V, Peled A, Hanski
E (2006). "A streptococcal protease that degrades CXC chemokines and
impairs bacterial clearance from infected tissues". EMBO J 25 (19):
4628–37. PMID 16977314.
13. ^ Kim KS, Kaplan
EL (1985). "Association of penicillin tolerance with failure to eradicate
group A streptococci from patients with pharyngitis". J Pediatr 107 (5):
681–4. PMID 3903089.
Sulyok E.
Acute proliferative glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P.
Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2004.h.601-13.
Makker SP.
Poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting.
Clinical pediatric nephrology. Edisi pertama. New York: MaGraw-Hll Inc;
1992.h.212-20.