Fluttershy - Move Tool

Selasa, 16 Agustus 2016

Streptococcus pyogenes

,
Streptococcus pyogenes

Streptococcus pyogenes ialah bakteri Gram-positif bentuk bundar yang tumbuh dalam rantai panjang[1] dan merupakan penyebab infeksi Streptococcus Grup A. Streptococcus pyogenes menampakkan antigen grup A di dinding selnya dan beta-hemolisis saat dikultur di plat agar darah. Streptococcus pyogenes khas memproduksi zona beta-hemolisis yang besar, gangguan eritrosit sempurna dan pelepasan hemoglobin, sehingga kemudian disebut Streptococcus Grup A (beta-hemolisis). Streptococcus bersifat katalase-negatif.

Streptococcus E haemolyticus grup A diselubungi oleh kapsul yang terdiri dari asam hialuronat yang berfungsi untuk resistensi terhadap pagositosis dan untuk perlekatan bakteri pada sel epitel pejamu. Seperti kapsul kuman lainnya, kapsul streptokokus mempunyai efek antipagositik. Peran kapsul sebagai antipagositik di antara galur streptokokus berbeda-beda. Kapsul streptokokus identik dengan asam hialuronat jaringan ikat pejamu dan tidak imunogenik.

Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
S. pyogenes
Streptococcus pyogenes
Rosenbach 1884

Serotipe
Serotipe  Streptococcus pyogenes

Pada tahun 1928, Rebecca Lancefield menerbitkan tulisan tentang cara serotipe Streptococcus pyogenes berdasarkan pada protein M-nya, faktor virulensi yang ditampakkan di permukaannya.[2] Kemudian, pada tahun 1946, Lancefield menjelaskan klasifikasi serologi isolasi Streptococcus pyogenes berdasarkan pada antigen T permukaannya.[3] 4 dari 20 antigen T telah diketahui bersifat pilus, yang digunakan bakteri untuk berikatan dengan sel inangnya.[4] Sekarang, lebih dari 100 serotipe M dan sekitar 20 serotipe T diketahui.

Patogenesis
Streptococcus pyogenes adalah penyebab banyak penyakit penting pada manusia yang berkisar dari infeksi kulit permukaan yang ringan hingga penyakit sistemik yang mengancam hidup. Infeksi khasnya bermula di tenggorokan atau kulit. Infeksi ringan Streptococcus pyogenes termasuk faringitis ("radang kerongkongan") dan infeksi kulit setempat ("impetigo"). Erisipelas dan selulitis dicirikan oleh perbiakan dan penyebaran samping Streptococcus pyogenes di lapisan dalam kulit. Serangan dan perbiakan Streptococcus pyogenes di fasia dapat menimbulkan fasitis nekrosis, keadaan yang besar kemungkinan mengancam hidup yang memerlukan penanganan bedah.

Infeksi akibat strain tertentu Streptococcus pyogenes bisa dikaitkan dengan pelepasan toksin bakteri. Infeksi kerongkongan yang dihubungkan dengan pelepasan toksin tertentu bisa menimbulkan penyakit jengkering (scarlet fever). Infeksi toksigen Streptococcus pyogenes lainnya bisa menimbulkan sindrom syok toksik streptococcus, yang bisa mengancam hidup.

Responses of innate immune cells to group A Streptococcus 


Streptococcus pyogenes juga bisa menyebabkan penyakit dalam bentuk sindrom "non-pyogenik" (tak dihubungkan dengan perbiakan bakteri dan pembentukan nanah setempat) pascainfeksi. Komplikasi yang diperantarai autoimun itu mengikuti sejumlah kecil persentase infensi dan termasuk penyakit rematik dan glomerulonefritis pasca-streptococcus akut. Kedua keadaan itu muncul beberapa minggu menyusul infeksi awal streptococcus. Penyakit rematik dicirikan dengan peradangan sendi dan/atau jantung menyusul sejumlah faringitis streptococcus. Glomerulonefritis akut, peradangan glomerulus ginjal, bisa mengikuti faringitis streptococcus atau infeksi kulit.

Bakteri ini benar-benar sensitif terhadap penisilin. Kegagalan penanganan dengan penisilin umumnya dikaitkan dengan organisme komensal lain yang memproduksi β-laktamase atau kegagalan mencapai tingkat jaringan yang cukup di tenggorokan. Strain tertentu sudah kebal akan makrolid, tetrasiklin dan klindamisin.

Faktor virulensi
Streptococcus pyogenes mempunyai beberapa faktor virulensi yang memungkinkannya berikatan dengan jaringan inang, mengelakkan respon imun, dan menyebar dengan melakukan penetrasi ke lapisan jaringan inang.[5] Kapsul karbohidrat yang tersusun atas asam hialuronat mengelilingi bakteri, melindunginya dari fagositosis oleh neutrofil. Di samping itu, kapsul dan beberapa faktor yang melekat di dinding sel, termasuk protein M, asam lipoteikoat, dan protein F (SfbI) memfasilitasi perkatan ke sejumlah sel inang.[6] Protein M juga menghambat opsonisasi oleh jalur kompemen alternatif dengan berikatan pada regulator komplemen inang. Protein M yang ditemukan di beberapa serotipe juga bisa mencegah opsonisasi dengan berikatan pada fibrinogen. Namun, protein M juga titik terlemah dalam pertahanan patogen ini karena antibodi yang diproduksi oleh sistem imun terhadap protein M sasarannya adalah bakteri untuk ditelan fagosit. Protein M juga unik bagi tiap strain, dan identifikasi bisa digunakan secara klinik untuk menegaskan strain yang menyebabkan infeksi.
Streptococcus pyogenes melepaskan sejumlah protein, termasuk beberapa faktor virulensi, kepada inangnya:
Streptolisin O dan S
adalah toksin yang merupakan dasar sifat beta-hemolisis organisme ini. Streptolisin O ialah racun sel yang berpotensi memengaruhi banyak tipe sel termasuk neutrofil, platelet, dan organella subsel. Menyebabkan respon imun dan penemuan antibodinya; antistreptolisin O (ASO) bisa digunakan secara klinis untuk menegaskan infeksi yang baru saja. Streptolisin O bersifat meracuni jantung (kardiotoksik).
Eksotoksin Streptococcus pyogenes A dan C
Keduanya adalah superantigen yang disekresi oleh sejumlah strain Streptococcus pyogenes. Eksotoksin pyogenes itu bertanggung jawab untuk ruam penyakit jengkering dan sejumlah gejala sindrom syok toksik streptococcus.
Streptokinase
Secara enzimatis mengaktifkan plasminogen, enzim proteolitik, menjadi plasmin yang akhirnya mencerna fibrin dan protein lain.
Streptokinase adalah protein ekstraseluler bakteri yang diproduksi oleh beberapa galur Streptococcus haemolyticus grup C. Kemampuan protein ini untuk memecah gumpalan darah dilaporkan pertama kali pada tahun 1993. Protein ini hanya terdiri dari satu rantai molekul dengan massa 48 kDa. Hingga sekarang telah dikenal 9 genotipe streptokinase yang berkaitan dengan GNAPS seperti sak-1, -2, -6, dan -9.
Pada binatang percobaan, hilangnya gen streptokinase dapat mengeliminasi bagian nefritogenik strain tertentu. Streptokokus grup A dapat memproduksi 2 jenis streptokinase imunogenik yaitu streptokinase yang dapat mengubah plasminogen menjadi plasmin dan streptokinase yang mengubah C3 menjadi C3a, suatu faktor kemotaktis. Streptokinase dikenal juga sebagai fibrinolisin yang merupakan spreading factor, dan berperan dalam penyebaran kuman melalui jaringan karena kemampuannya mengubah plasminogen menjadi plasmin.

 Plasmin akan mengaktivasi kaskade komplemen, menyebabkan pemecahan protein matriks ekstraselular, mencerna fibrin, dan menginduksi pelepasan vasoaktif bradikinin. Sebagai hasilnya, infeksi jaringan lunak oleh Streptokokus grup A akan cepat menyebar dan meluas. Streptokinase dapat juga berikatan dengan struktur glomerulus yang normal dengan afinitas yang berbedabeda untuk setiap strain. Streptokinase terikat erat dengan glomerulus, dan deposit streptokinase glomerular dapat dideteksi dengan teknik pewarnaan tertentu.

Hialuronidase
Banyak dianggap memfasilitasi penyebaran bakteri melalui jaringan dengan memecah asam hialuronat, komponen penting jaringan konektif. Namun, sedikit isolasi Streptococcus pyogenes yang bisa mensekresi hialuronidase aktif akibat mutasi pada gen yang mengkodekan enzim. Apalagi, isolasi yang sedikit yang bisa mensekresi hialuronidase tak nampak memerlukannya untuk menyebar melalui jaringan atau menyebabkan lesi kulit.[7] Sehingga, jika ada, peran hialuronidase yang sesungguhnya dalam patogenesis tetap tak diketahui.
Streptodornase
Kebanyakan strain Streptococcus pyogenes mensekresikan lebih dari 4 DNase yang berbeda, yang kadang-kadang disebut streptodornase. DNase melindungi bakteri dari terjaring di perangkap ekstraseluler neutrofil (NET) dengan mencerna jala NET di DNA, yang diikat pula serin protease neutrofil yang bisa membunuh bakteri.[8]
C5a peptidase
C5a peptidase membelah kemotaksin neutrofil kuat yang disebut C5a, yang diproduksi oleh sistem komplemen.[9] C5a peptidase diperlukan untuk meminimalisasi aliran neutrofil di awal infeksi karena bakteri berusaha mengkolonisasi jaringan inang.[10] Peptidase C5a merupakan kemotraktan sel pagosit C5a dan terdapat pada semua sel strain Streptokokus grup A. Peptidase dapat merusak sinyal kemotaktik dengan memecah komponen komplemen C5a, sehingga menjadi inaktif.

Kemokin protease streptococcus
Jaringan pasien yang terkena dengan kasus fasitis nekrosis parah sama sekali tidak ada neutrofil.[11] Serin protease ScpC, yang dilepas oleh Streptococcus pyogenes, bertanggung jawab mencegah migrasi neutrofil ke infeksi yang meluas.[12] ScpC mendegradasi kemokina IL-8, yang sebaliknya menarik neutrofil ke tempat infeksi. C5a peptidase, meskipun diperlukan untuk mendegradasi kemotaksin neutrofil C5a di tahap awal infeksi, tak diperlukan untuk Streptococcus pyogenes mencegah aliran neutrofil karena bakteri menyebar melalui fasia.[10][12]
Diagnosis
Biasanya, usap tenggorokan dibawa ke laboratorium untuk diuji. Pewarnaan Gram diperlukan untuk memperlihatkan Gram-positif, coccus, dalam bentuk rantai. Kemudian, organisme di agar darah dikultur dengan tambahan cakram antibiotik basitrasin untuk memperlihatkan koloni beta-hemolisis dan sensitivitas (zona inhibisi sekitar cakram) antibiotik. Lalu dilakukan uji katalase, yang harus menunjukkan reaksi negatif untuk semua Streptococcus. Streptococcus pyogenes bersifat negatif untuk uji cAMP dan hipurat. Identifikasi serologi atas organisme itu melibatkan uji untuk adanya polisakarida spesifik grup A dalam dinding sel bakteri menggunakan tes Phadebact. Karena uji tindak pencegahan juga dilakukan untuk memeriksa penyakit penyakit seperti, namun tak terbatas pada, sifilis, dan nekrosis avaskular, dan kaki pekuk.
Adanya infeksi streptokokus dapat diketahui dengan melihat peningkatan titer antibodi terhadap antigen yang berasal dari dinding sel dan produk ekstraselular kuman. Secara praktis, infeksi streptokokus diketahui dengan pemeriksaan antistreptolisin, antideoksiribonuklease B, antihialuronidase, antistreptokinase, dan antinikotinamid adenin dinukleotidase. Titer antistreptolisin dan anti-nikotinamid adenin dinukleotidase meningkat pada 80% pasien nefritis pasca faringitis, sedangkan titer antihialuronidase dan antideoksiribonuklease B meningkat pada 80- 64 90% pasien glomerulonefritis pasca infeksi kulit. Titer antibodi akan meningkat dalam 1-5 minggu setelah infeksi dan akan normal dalam beberapa bulan. Antibodi IgG terhadap fraksi C protein M streptokokus merupakan petanda diagnostik yang lebih realistis terhadap GNAPS sebab kadarnya tetap meningkat secara bermakna setelah kadar antibodi streptokokus yang lain sudah normal.
 Pada GNAPS, aktivasi sistem komplemen diketahui dengan mengukur kadar komplemen hemolitik (CH50) total, C3, dan C4. Lebih dari 90% pasien GNAPS akan mengalami penurunan C3 dan CH50 sedangkan C4 normal atau sedikit menurun yang mengindikasikan adanya aktivasi melalui jalur alternatif. Kadar IgG dan IgM serum meningkat pada 90% pasien GNAPS. Kompleks imun bersirkulasi dan krioglobulin dapat dideteksi pada masing-masing 58% dan 66% pasien GNAPS. Antibodi antineutrofil sitoplasma dapat dideteksi pada 9% pasien GNAPS dan dihubungkan dengan beratnya penyakit seperti peningkatan kadar kreatinin dan pembentukan kresentik. Terdapat tiga pemeriksaan antibodi streptokokus yang lazim dilakukan yaitu pemeriksaan titer antistreptolisin O (ASO), titer anti-DNAse-B (ADB), dan uji streptozim. Jika memungkinkan dapat juga dilakukan pemeriksaan antihialuronidase. Antistreptolisin O dilakukan untuk mendeteksi infeksi Streptokokus E hemolitikus grup A.
Streptokokus grup A menghasilkan enzim streptolisin O yang dapat merusak sel darah merah. Oleh karena streptolisin O bersifat antigenik, maka tubuh memproduksi antistreptolisin O yang merupakan antibodi netralisasi. Antibodi ASO akan terdapat dalam darah satu minggu hingga dua bulan setelah awitan infeksi. Titer ASO yang tinggi tidak spesifik terhadap setiap penyakit infeksi streptokokus, tetapi mengindikasikan ada atau pernah terinfeksi streptokokus. Pemeriksaan ASO serial digunakan untuk mengetahui perbedaan antara fase akut dan konvalesen. Diagnosis adanya infeksi streptokokus sebelumnya diketahui dengan peningkatan titer ASO secara serial setiap minggu dan kemudian turun perlahan-lahan.
Puncak peningkatan titer ASO terjadi pada minggu ketiga setelah awitan fase akut dan 6 bulan setelah awitan hanya 30% yang menunjukkan nilai abnormal. Peningkatan lemak lipoprotein E darah dapat menetraliser streptolisin O dan menyebabkan positif palsu pada pemeriksaan ASO. Antibiotik dan steroid dapat menekan produksi ASO. Nilai normal ASO pada anak 6 bulan – 2 tahun adalah 50 Todd unit/ml, 2-4 tahun 160 Todd unit/ml, 5-12 tahun 170-330 Todd unit/ml, dan dewasa 160 Todd unit/ml.12 Titer ASO akan meningkat pada 75- 80% GNAPS pasca faringitis dan pada 50% GNAPS pasca impetigo. Pemeriksaan anti-DNAse-B (ADB) dilakukan untuk mendeteksi antigen Streptococcus E haemolyticus grup A dan akan meningkat pada sebagian besar pasien GNAPS. Pemeriksaan ADB sering dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan ASO dan dapat mendeteksi 95% infeksi streptokokus. Jika keduanya diulang dengan hasil yang negatif, dapat disimpulkan bahwa penyakit tersebut tidak disebabkan infeksi pascastreptokokus. Pemeriksaan ASO lebih direkomendasikan daripada ADB tetapi kombinasi ASO dan ADB lebih baik daripada ASO sendiri atau ADB. Antibiotik dapat menurunkan kadar anti-DNAse-B.
Nilai normal ADB pada anak prasekolah 60 unit, usia sekolah 170 unit, dan dewasa 85 unit. Pemeriksaan streptozim merupakan uji skrining untuk mendeteksi sekaligus beberapa antibodi terhadap antigen streptokokus seperti DNAse, NADase, streptokinase, streptolisin O, dan hialuronidase. Pemeriksaan ini mudah, cepat, dan tidak dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan positif palsu seperti pada pemeriksaan ASO. Kelemahannya adalah tidak dapat mendeteksi jenis antigen yang meningkat dan kadar antibodi dalam nilai border line meskipun sudah bermakna. Pemeriksaan streptozim lebih menguntungkan dibandingkan dengan ASO dan ADB. Nilai normal streptozim

Penanganan
Terapi pilihan adalah penisilin, namun, bila tidak siap tersedia penisilin, sayatan kecil pada daerah yang terinfeksi akan menghilangkan dan bengkak dan rasa tak nyaman hingga bantuan medis yang cocok dapat dicari. Tidak ada kejadian resistensi penisilin yang dilaporkan hingga hari ini, meski sejak tahun 1985 sudah banyak laporan toleransi penisilin.[13]
Makrolid, kloramfenikol, dan tetrasiklin bisa digunakan jika strain yang diisolasi nampak sensitif, namun lebih umum terjadi resistensi.

Daftar Pustaka

1.    ^ Ryan KJ; Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology(4th ed. ed.). McGraw Hill. ISBN 0-8385-8529-9.
2.    ^ Lancefield RC (1928). "The antigenic complex of Streptococcus hemolyticus"J Exp Med 47: 9–10.
3.    ^ Lancefield RC, Dole VP (1946). "The properties of T antigen extracted from group A hemolytic streptococci"J Exp Med 84: 449–71.
4.    ^ Mora M, Bensi G, Capo S, Falugi F, Zingaretti C, Manetti A, Maggi T, Taddei A, Grandi G, Telford J (2005). "Group A Streptococcus produce pilus-like structures containing protective antigens and Lancefield T antigens". Proc Natl Acad Sci U S A 102 (43): 15641–6.PMID 16223875.
5.    ^ Patterson MJ (1996). Streptococcus. In: Baron's Medical Microbiology (Baron S et al, eds.) (4th ed. ed.). Univ of Texas Medical Branch. (via NCBI Bookshelf) ISBN 0-9631172-1-1.
6.    ^ Bisno AL, Brito MO, Collins CM (2003). "Molecular basis of group A streptococcal virulence". Lancet Infect Dis 3 (4): 191–200. PubMed.
7.    ^ Starr C, Engleberg N (2006). "Role of hyaluronidase in subcutaneous spread and growth of group A streptococcus". Infect Immun 74 (1): 40–8. PMID 16368955.
8.    ^ Buchanan J, Simpson A, Aziz R, Liu G, Kristian S, Kotb M, Feramisco J, Nizet V (2006). "DNase expression allows the pathogen group A Streptococcus to escape killing in neutrophil extracellular traps". Curr Biol 16 (4): 396–400. PMID 16488874.
9.    ^ Wexler D, Chenoweth D, Cleary P (1985). "Mechanism of action of the group A streptococcal C5a inactivator". Proc Natl Acad Sci U S A82 (23): 8144–8. PMID 3906656.
10.  ^ a b Ji Y, McLandsborough L, Kondagunta A, Cleary P (1996). "C5a peptidase alters clearance and trafficking of group A streptococci by infected mice". Infect Immun 64 (2): 503–10. PMID 8550199.
11.  ^ Hidalgo-Grass C, Dan-Goor M, Maly A, Eran Y, Kwinn L, Nizet V, Ravins M, Jaffe J, Peyser A, Moses A, Hanski E (2004). "Effect of a bacterial pheromone peptide on host chemokine degradation in group A streptococcal necrotising soft-tissue infections". Lancet 363 (9410): 696–703. PMID 15001327.
12.  ^ a b Hidalgo-Grass C, Mishalian I, Dan-Goor M, Belotserkovsky I, Eran Y, Nizet V, Peled A, Hanski E (2006). "A streptococcal protease that degrades CXC chemokines and impairs bacterial clearance from infected tissues". EMBO J 25 (19): 4628–37. PMID 16977314.
13.  ^ Kim KS, Kaplan EL (1985). "Association of penicillin tolerance with failure to eradicate group A streptococci from patients with pharyngitis". J Pediatr 107 (5): 681–4. PMID 3903089.
Sulyok E. Acute proliferative glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004.h.601-13.
Makker SP. Poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi pertama. New York: MaGraw-Hll Inc; 1992.h.212-20.



0 komentar to “Streptococcus pyogenes”

Posting Komentar

 

Mengerti dan Belajar itu Menyenangkan Copyright © 2011 | Template design by O Pregador | Powered by Blogger Templates